Selasa, 16 Juni 2009

tinjauan teori bab II

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Dasar-Dasar Teoritis Pengajaran Bahasa
Pengembangan metode pengajaran dibangun diatas landasan teori-teori ilmu (psikologi) dan ilmu bahasa (linguistik). Dalam hal ini psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu, sedangkan linguistik memberikan informasi tentang seluk beluk bahasa. Informasi dari ke-2 unsur ini diramu menjadi suatu cara atau metode yang memudahkan proses belajar mengajar, untuk mencapai tujuan tertentu. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat teori-teori dari kedua bidang ilmu tersebut dalam hubungannya dengan belajar dan mengajar bahasa arab.
a). Teori-teori ilmu jiwa
Para ahli psikologi pembelajaran telah sepakat bahwa dalam proses pembelajaran atau dalam proses belajar mengajar terdapat unsur internal dan eksternal, mengenai hal ini Ahmad Fuad Effendy (2004: 10) menjelaskan bahwa unsur internal meliputi bakat, minat, kemauan dan pengalaman terdahulu dari dalam diri pembelajar dan unsur eksternal meliputi guru, buku teks, dsb.
Unsur internal dapat dikatakan pembawaan atau keturunan yang berasal dari anak didik, sedangkan unsur ekstenal bisa juga disebut pengaruh lingkungan, dengan adanya hal ini timbul sebuah pertanyaan “unsur manakah yang menjadi faktor yang paling besar (dominan) dalam proses pembelajaran atau dengan kata lain dalam faktor perkenbangan anak didik itu tergantung kepada pembawaan ataukah kepada lingkungan?” dalam menjawab hal ini para ahli ilmu jiwa, ahli ilmu didik, dan ahli biologi telah bertahun-tahun mencari jawaban atas pertanyaan ini, M Ngalim Purwanto (2004: 14) mengemukakan pendapat sebagai berikut
1. Aliran nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa semua perkembangan manusia telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir. Pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya, sehingga pendidikan tidak akan dapat mengubah dan tidak akan mempengaruhi perkembangan anak didik.
2. aliran Empirisme
Aliran ini mempunyai pendapat yang berlawanan dengan nativisme yaitu mereka berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungan atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecill. Manusia dapat dididik menjadi apa saja ( kearah yang baik maupun kearah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidik-pendidiknya, Ahmad Fuad Effendy(2004: 10-11) memberikan keterangan tentang penganut aliran ini antara lain:
a. Pavlov (1849-1939)
Seorang ilmuan Rusia yang termashur dengan teorinya yang menghubungkan stimulus primer (makanan) dan stimulus skunder (nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respon (keluarnya air liur) anjing yang dijadikan hewan percobaannya, berdasar penelitian ini, air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa ada makanan.
b. Edward L.Thorndike
Dengan teori “hukum efek”nya yang memberikan perhatian kepada ganjaran dan hukuman (Reward and Punishmant; al-tsawab wal ‘iqa:b), menurutnya ganjaran memperkuat hubungan antara stimulus dan respon, sebaliknya hukuman melemahkannya.
c. B.F. Skinner
Mempunyai pendapat yang serupa dengan Edward Thorndike, tetapi dia memakai istilah penguatan (reinforcement: al-ta”zi;z) menggantikan ganjaran, Skinner berpendapat bahwa al-tsawab atau al ta’ziz buka saja memperkuat hubungan antara stimulus dan respon tetapi juga memotivasi untuk belajar marespon.
3. Hukum konvergensi
Hukum ini berasal dari psikolog bangsa Jerman bernama wiliam Stern, Ia berbendapat bahwa pembawaan dan lingkungan keduanya menentukan perkembangan manusia.
Dengan jawaban Wiliam Stern ini maka persoalan tentang pembawaan dan lingkungan ini apakah sudah sudah selasai ?, belum ! sebab dalam aliran yang menganut hukum Konvergensi ini terdapat dua aliran yaitu yang lebih menekankan kepada pengaruh pembawaan dari pada lingkungan, dan juga sebaliknya.
Tetapi dalam kenyataannya proses perkembangan manusia bukanlah hasil dari pembawaan dan lingkungan belaka, manusia tidak hanya diperkembangkan tetapi ia juga memperkembangkan dirinya sendiri, manusia adalah mahkluk yang sanggup memilih dan menentukan sesuatu mengenai dirinya dengan bebas, aktivitas manusia itu sendiri juga turut menentukan perkembangannya, jadi jalan perkembangan manusia sedikit banyak ditentukan oleh pembawaan yang turun-menurun oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuan manusia sendiri yang dilakukan dengan bebas dibawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang tertentu berkembang menjadi sifat-sifat (M Ngalim purwanto, 2004 : 17).
Dari uraian ini telah jelaslah bahwa bahwa pertanyaan ;” manakah yang menentukan perkembangan, pembawan atau lingkungan ?” adalah persoalan yang tidak perlu dicari jawabannya, suatu persoalan yang tidak ada jawabannya, sebab semua yang berkembang dalam suatu individu ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan, sebagai contoh seorang anak dapat berbicara dan berkata-kata karena ia mempunyai pembawaan untuk berkata-kata, kemudian diajar dan dilatih berkata-kata(lingkungan), jika kedua faktor ini tidak ada, tidaklah mungkin kepandaian berkata-katanya dapat berkembang.
Mungkin akan lebih berarti jika pertanyaan tersebut dirubah menjadi “sampai dimanakah pembawaan atau lingkungan bertanggung jawab pada suatu perkembangan yang tertentu?” jika demikian, maka jawabannya adalah :
Tiap-tiap sifat dan ciri-ciri manusia dalam perkembangannya ada yang lebih ditentukan oleh lingkungannya, dan ada pula yang lebih ditentukan oleh pembawaannya.
Dari perumusan masalah tersebut maka jelaslah bahwa persoalan manakah yang lebih kuat atau lebih menentukan antara pembawaan dan lingkungan terhadap perkembangan belajar manusia, dari pelajaran psikologi kita mengetahui kebanyakan dari para ahli psikologi-individual (antara lain Alfred Adler dan Kunkel) lebih menitik beratkan kepada kekuatan pengaruh lingkungan, sedangkan ahli-ahli biologi dan ahli psiklogi yang lain lebih menekankan kepada kekuatan/pengaruh lingkungan.
b). Teori-teori ilmu bahasa
Perbedaan dalam cara atau metode mengajarkan bahasa dipengaruhi pula oleh perbedaan pandangan terhadap hakekat bahasa dan perbedaan dalam menganalisis dan mendeskripsikan bahasa, pada bagian ini dikemukakan aliran yang paling penting dalam bidang ilmu bahasa, yaitu aliran struktural dan aliran transformasi generatif, adapun penjabarannya sebagai berikut :
1. Aliran struktural.
Aliran ini dipelopori oleh linguis dari Swis Ferdinand de Sausser (1957-1913), tapi dikembangkan lebih lanjut secara signifikan oleh Leonard Bloomfield, Dialah yang meletakkan dasar linguistik struktural berdasarkan penelitian-penelitian dengan menggunakan metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam sains (Ilmu Pengetahua Alam).
Beberapa teori tentang bahasa menurut aliran ini dapat disebutkan antara lain ;
a. Bahasa itu pertama-tama adalah bahasa lisan
b. Kemampuan berbahasa diperoleh melalui kebiasaan ditunjang dengan latihan dan penguatan.
c. setiap bahasa memiliki sistemnya sendiri yang berbeda dari bahasa lain, karena itu, menganalisis suatu bahasa tidak bisa memakai kerangka yang digunakan untuk menganalisis bahasa lainnya.
d. Setiap bahasa memiliki sistem yang utuh dan cukup untuk mengekspresikan maksud dari penuturnya, karena itu tidak ada bahasa yang lebih unggul dari bahasa yang lainnya.
e. Semua bahasa yang hidup berkembang mengikuti perubahan zaman terutama ter jadi kontak dengan bahasa lain, karena itu kaidah-kaidahnya bisa berubah .
f. Sumber pertama dan utama kebakuan bahasa adalah penutur bahasa tersebut, bukan lembaga ilmiah, pusat bahasa, atau madzhab-madzhab gramatika.
Berdasar teori-teori kebahasaan tersebut, ditetapkan beberapa prinsip mengenai pengajaran bahasa, antara lain sebagai berikut :
1. Karena kemampuan bahasa diperoleh dari kebiasaan maka latihan menghafalkan dan menirukan berulang-ulang harus diintensufkan. Guu harus mengambil peran utama dalam pembelajaran.
2. Karena bahasa lisan merupakan sumber utama bahasa , maka guru harus memulai pelajaran dengan menyimak kemudian berbicara, membaca, dan menulis.
3. Hasil analisis kontrastif (perbandingan antara bahsa ibu dan bahasa yang dipelajari ) dijadikan dasar pemilihan materi pelajaran dan latihan-latihan.
4. Diberikan perhatian yang besar kepada wujud luar dari bahasa yaitu : pengucapan yang fasih, ejaan dan pelafalan yang akurat, struktur yang benar, dan sebagainya.
Seiring dengan teori-teori psikologi behaviorisme, teori-teori linguistik struktural inilah yang menjadi landasan bagi metode audio-lingual dalam pembelajaran bahasa
2. Aliran Generatif-Transformasi
Tokoh utama aliran ini adalah linguis Amerika Noam Chomsky yang pada tahun 1957 mempublikasikan bukunya “language Structures” . Tata bahasa generatif-transformasi membedakan dua stuktur bahasa, yaitu struktur luar (Surface structur-al-bina: al-zha:hiri) dan struktur dalam ( Deep structure-al-bina:’al-asa:si) bentuk ujaran yang diucapkan dan ditulis oleh penutur adalah struktur luar yang merupakan manifestasi dari struktur dalam ujaran itu bisa berbeda bentuk dengan struktur dalamnya, tetapi pengertian yang dikandung sama. Struktur luar bisa saja memiliki bentuk yang sama dengan struktur dalamnya, tetapi tidak selalu demikian.
Sejalan dengan itu Chomsky membagi kemampuan berbahasa menjadi dua, yakni kompetensi dan performansi. Kompetensi (competence-al-kafa:ah) adalah kemampuan ideal yang dimiliki oleh seorang penutur, kompetensi menggambarkan pengetahuan tentang sistem bahasa yang sempurna, yaitu pengetahuan tentang sistem kalimat(sintaks), sistem kata(morfologi), sistem bunyi(fonologi), dan sistem makna(semantik). Sedangkan performansi(performance-al-ada:’) adalah ujaran-ujaran yang bisa didengar atau dibaca, yang merupakan tuturan seseorang apa adanya tanpa dibuat-buat, karena itu performansi bisa saja tidak sempurna, dan karena itu pula, menurut Chomsky suatu bahasa hendaknya memberikan kompetensi dan bukan performansi.
Akan tetapi prinsip bahwa kompetensi (dalam pengeryian Chomsky) adalah refleksi suatu kemampuan berbahasa, ditolak oleh Dell Hymes (1972) menurut Hymes, seseorang yang baru bisa mengguasai ragam yang ideal itu belum dikatakan menguasai suatu bahasa dalam arti yang sebenarnya, karena penguasaan itu harus mencapai tingkat kompetensi linguistik, yaitu penguasaan tata bahasa yang terlepas dari konteks, Penguasaan bahasa yang sempurna harus mencakup penguasaan kaidah-kaidah tata bahasa dan kaidah-kaidah interaksi sosial yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Didalam bahasa arab dikenal istilah dzawq lughowhy (cita rasa bahasa), yaitu suatu ujaran bisa saja benar secara nahwy tapi belum tentu benar secara dzawqy.
Dalam hal teori kebahasaan teori ini tidak berbeda dengan aliran struktural, yang pertama ialah teori bahwa bahasa itu pertama-tama adalah bahasa lisan, yang kedua ialah bahwa setiap bahasa memiliki sistem yang utuh dan cukup untuk mengekspresikan maksud dari penuturnya, karena itu tidak ada bahasa yang unggul dari bahasa lainnya.
Adapun teori-teori yang berbeda atau berseberangan diantara kedua aliran ini antara lain sebagai beikut :
1. Menurut aliran struktural kemampuan berbahasa diperoleh melalui kebiasaan yang ditunjang dengan latihan dan penguatan, sedangkan aliran transformasi generatif menekankan bahwa kemempuan berbahasa adalah sebuah proses kreatif.
2. Aliran struktural menekankan adanya perbedaan sistem antara satu bahasa dan bahasa lainnya, sedangkan aliran tranformatif generatif menegaskan adanya banyak unsur-unsur kesamaan diantara bahasa-bahasa, terutama pada struktur kalimatnya.
3. Aliran struktural berpendapat bahwa semua bahasa yang hidup berkembang mengikuti perubahan zaman terutama karena terjadinya kontak dengan bahasa lain, karena iitu kaidah-kaidahnyapun bisa berubah, aliran tranformatif-generatif menyatakan perubahan itu hanya terjadi pada struktur luar, sedangkan struktur dalam tidak berubah sepanjang masa, dan tetap menjadi dasar bagi setiap perkembangan yang terjadi.
4. Meskipun bisa menerima pandangan aliran struktural bahwa sumber pertama dan utama kebakuan bahasa adalah penutur bahasa tersebut, akan tetapi aliran transformasi-generatif mengingatkan bahwa penggunaan bahasa oleh seseorang atau kelompok kadang-kadang menyalahi kaidah bahasa, karena itu pembakuan bahasa merupaka suatu kebutuhan dan harus didasarkan atas kesepakatan umum atau mayoritas Sipenutur bahasa.
Berdasar teori ini , ditetapkan beberapa diperoleh beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam pengajaran bahasa antara lain:
1. karena kemampuan berbahasa adalah sebuah proses kreatif, maka pembelajar harus diberi kesempatan yang luas untuk mengkreasi ujaran-ujaran dalam situasi komunikatif yang sebenarnya.
2. Pemilihan materi pelajaan tidak ditekankan pada hasil analisis kontrastif, melainkan pada kebutuhan komunukasi dan penguasaan fungsi-fungsi bahasa.
3. Kaidah nahwu dapat diberikan sepanjang hal itu diperlukan oleh pembelajar sebagai landasan untuk dapat mengkreasi ujaran-ujaran sesuai dengan kebutuhan komunikasi.


B. Penerjemahan Dan Pembinaan Peradaban
Kebudayaan tidak lahir dari kekosongan ia didahului oleh kebudayan-kebudayaan lain yang menjadi unsur pembentukya, kebudayaan suau bangsa selalu merupakan ikhtisar dari kebudayaan sebelumnya atau eleksi dari berbagai kebudayaan lain. Dengan demikian kebudayaan dapat dipandang sebagai proses memberi dan menerima (Majid, 1997:2).
Proses diatas berkembang melelui berbagai sarana, diantaranya penerjemahan, catatan sejarah menegaskan bahwa peradaban islam pertama-tama berkembang melalui penerjemahan karya-karya lama yunani, india, dan mesir, dalam bidang ilmu eksakta dan kedokteran. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan khalifah Abu Jakfar Al Mansur(137-159 H/ 754-775M), seorang khalifah dari dinasti abbasiah. Upayanya itu mencapai kegairahan yang menakjubkan pada masa khalifah Al Makmun sehingga mnegantarkan islam pada masa keemasan (Majid, 1997;98-99).
Pada gilirannya, bangsa Eropa menyerap dan menyeleksi kebudayaan islam juga melalui kegiatan penerjemahan, menurut Newmark (1988:7) sekolah toledolah yang berjasa mentransfer kebudayaan arab dan yunani kedalam peradaban barat melalui kegiatan penerjemahan.
Zdenek zalman (Yunus,1989:2-3) menyimpulkan bahwa utang budi bangsa arab terhadap bangsa yunani dan Romawi (Eropa) akhirnya terbayar pula dengan hutang budi bangsa Eropa teradap bangsa Arab hingga mereka meraih masa pencerahan. Sejak abad ke-12 pusat-pusat penerjemahan berdiri di Spanyol, Sisilia, dan Italia, jika bangsa Arab menjadian Bagdad sebagai pusat utama kegiatan penerjemahan karya-karya bangsa Romawi dan Yunani, bangsa Eropa menjadikan Toledo sebagai pusat penerjemahan karya-karya bangsa arab.
Kemajuan bangsa Jepang pun diraih, diantaranya melalui kegiatan penerjemahan pada masa Restorasi Meiji, pesatnya perkembngan ilmu pengetahuan dimulai dari penyelenggaraan lembaga-lembaga penerjemhan yang kemudian menjadi lembaga pendidikan tinggi (Yunus, 1983:3-4).
Kegiatan keagamaan terutama nas keagamaan, sebagai tranfer budaya dan ilmu pengetahuan juga dilakukan oleh bangsa indonesia sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 91607-1636) di Aceh. Hal ini ditandai dengan dijumpainya karya-karya terjemahan ulama indonesia terdahulu (Yunus, 1989:4). Upaya umat islam Indonesia – juga kaum missionaris – terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya kegiatan penerjemahan sebagai sarana pembinaan peradaban umat manusia untuk mencapai suatu kemajuan dan kesejahteraan.
C. Teori Dan Konsep Terjemah
Dalam bahasa Indonesia, isstilah terjemah dipungut bahasa Arab,tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tersebut dari bahsa Armenia, turjuman ( Didawi,1992:37). Kata Turjuman sebentuk dengan tarjuman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain (Manzhr, tt: 66).
Az-Zarqani (tt. II: 107-108) mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah memiliki empat makna :
a. Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu.
b. Menjelaskan dengan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasaArab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia pula dijelaskan dengan bahasa indonesia pula.
c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya.
d. Memindahkan tuturan dari suatu bahasa kebahsa lain seperti mengalihkan bahasa Arab kebahasa Indonesia
Makna etimologis diatas memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan meneragkan tuturan, baik penjelasan itu samadengan tuturan yang dijelaskan maupun berbeda.
Adapun secara etimologis, menerjemah didefinisikan sebagai mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa didalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu.
Takrif diatas mengandung beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Kata “mengungkapkan” merupakan padanan untuk kata At-ta”bir yang asal katanya adalah “abara, yaitu melewati atau melintas, konsep kata yang terkandung dalam at-ta”bir yang dipadankan deengan mengungkapkan menunjukan bahwa ujaran atau nas itu merupakan sarana yang dilalui oleh seorang penerjemah untuk memperoleh makna yang terkandung dalam nas itu, jadi yang diungkapkan oleh penerjemah adalah makna nas, sedangkan nas itu sendiri merupakan sarana, bukan tujuan.
Kata kunci lainnya adalah makna, secara singkat dapat dikatakan bahwa makna berarti segala informasi yang berhubbungan dengan suatu ujaran. Makna ini bersifat objektif, artinya informasi itu hanya diperoleh dari ujaran tersebut tanpa melihat penuturnya. Adapun istilah maksud merujuk pada informasi yang diperoleh menurut pandangan penutur. Dengan demikian maksud itu bersifat subjektif.jika seseorang bertanya “apa kabar?” makna pertanyaan ini adalah menanyakan keadaan kesehatan seseorang, namun, maksud pertanyaan itu dapat bermacam, misal ingin berbasa-basi untuk maembuka pembicaraan, atau untuk menyapa.
Kata kunci terahir ialah bahwa terjemahan itu bersifat otonom, artinya, terjemahan dituntut untuk dapat menggantikan nas sumber. Dengan ungkapan lain nas terjemahan itu memberi pengaruh dan manfaat yang sama seperti yang diberikan oleh nas sumber, namun, sifat otonom ini tidak dapat diberlakukan kepada seluruh nas terjemahan, misal terhadap nas terjemahan al Quran (Syihabbuddin, 2005: 7-10).
D. Asumsi dalam penerjemahan.
Dalam bidang ilmu dikenal asumsi-asumsi yang dijadikan pedoman dan arah oleh orang-orang yang melakukan aneka kegiatan ilmiah pada bidang tersebut. Dalam bidang penerjemahan pun dikenal asumsi yang merupakan cara kerja,pengalaman , keyakinan dan pendekatan yang dianut oleh para peneliti, praktisi dan pengajar dalam melakukan berbagai kegiatannya. Bahkan, penerjemah yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal pun, tetapi yang dibesarkaan pengalamannya memiliki prinsip dan cara-cara yang digunakan untuk mengatasi masalah penerjemahan yang dihadapinya.
Menurut Syihabuddin (2005:16-17) diantara asumsi yang berlaku dalam kegiatan penerjemahan baik pada bidang teori, praktik, pengajaran, maupun evaluasi terjemahan adalah sebagai berikut :
a. Penerjemahan merupakan kegiatan yang kompleks, artinya, bidang ini menuntut keahlian penerjemah yang bersifat multi disipliner, yaitu kemampuan dalam bidang teori menerjemah, penguasaan bahasa sumber dan bahasa penerima berikut kebudayaannya secara sempurna, pengetahuan tentang berbagai bidang ilmu, dan kemampuan berpikir kreatif.
b. Budaya suatu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain, maka bahasa suatu bangsa pun berbeda dengan yang lainnya, karena itu, pencarian ekuivalensi antara keduanya merupakan kegiatan utama yang dilakukan peerjemah.
c. Penerjemah berkedudukan sebagai komunikator antara pengarang dan pembaca. Dia sebagai pembaca yang menyelami makna dan maksud nas sumber, dan sebagai penulis yang menyampaikan pemahamannya kepada orang lain melalui sarana bahasa supaya orang lain memahaminya, penerjemahan berada pada titik pertemuan antara maksud penulis dan pemahaman pembaca (Lederer dan Seleskovitch, 1995: 14). Dengan demikian, penerjemah berpedoman pada pemakaian bahasa yang komunikatif.
d. Terjemahan yang baik adalah yang benar, jelas, dan wajar. Benar artinya makna yang terdapat dalam terjemahan adalaah sama dengan makna pada nas sumber, jelas berarti terjemahan itu mudah dipahami. Adapun wajar berarti terjemahan itu tidak terasa sebagai terjemahan dan bahasanya mengalir secara alamiah.
e. Terjemahan bersifat otonom, artinya, terjemahan hendaknya dapat menggantikan nas sumber atu nas terjemahan itu, memberika pengaruh yang sama kepada pembaca seperti yang ditimbulkan nas sumber.
f. Penerjemah dituntut untuk menguasai pokok bahasa pengetahuan tentang bahasa sumber, dan pengetahuan tentang bahasa penerima. Disamping itu diapun dituntut untuk bersikap jujur dan berpegang pada landasan hukum.
g. Pengajaran menerjemah dituntut untuk mengikuti landasan teoritis penerjemahan dan kritik terjemah.
E. Gramatika terjemah sebagai suatu metode
1. Sejarah singkat metode gramatika terjemah
Cikal bakal metode ini dapat dirujuk ke abad kebangkitan Eropa (abad 15) ketika banyak sekolah dan Universitas di Eropa pada waktu itu mengharuskan pelajar/mahasiswanya belajar bahasa latin karena dianggap mempunyai “nilai dasar pendidikan yang tinggi” guna mempelaari teks klasik.(Al Araby, 1981). Metode ini merupakan pencerminan yang tepat dari cara bahasa-bahasa Yunani kuno dan latin diajarkan selama berabad-abad (Subyakto, 1983). Akan tetapi penamaan metode klasik ini dengan “Grammar Translation Methode” baru dikenal pada abad 19, ketika metode ini digunakan secara luas dibenua Eropa(Brown, 2001). Untuk selanjutnya dalam perkembangan metode ini juga digunakan untuk pengajaran bahasa Arab, baik di negeri-negeri Arab maupun di negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia.
Penggunaan metode ini berdasarkan Asumsi bahwa ada satu “logika semesta” yang merupakan dasar semua bahasa di dunia ini, dan bahwa tata bahasa merupakan bagian dari filsafat dan logika, belajar bahasa dengan demikian dapat memperkuat kemampuan berfikir logis, memecahkan masalah dan menghafal, para pelajar bahasa dengan metode ini didorong untuk menghafal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya dalam bahasa pelajar, terutama teks-teks yang bernilai sastra tinggi, walaupun dalam teks itu seringkali terdapat struktur kalimat yang rumit serta kosa kata atau ungkapan yang yang sudah tidak terpakai.
2. Karakteristik metode Gramatika terjemah
Adapun karakteristik metode gramatika terjamah adalah sebagai berikut :
a. Tujuan dalam mempelajari bahasa asing adalah agar mampu membaca karya sastra dalam bahasa target (BT), atau kitab keagamaan dalam kasus belajar bahasa arab di indonesia.
b. Materi pelajaran terdiri atas buku nahwu, kamus atau daftar kata, dan teks bacaan.
c. Tata bahasa disajikan secara deduktif, yakni dimulai dengan penyajian kaidah didikuti dengan contoh-contoh, dan diielaskan secara rinci dan panjang lebar.
d. Kosa kata diberikan dalam bentuk kamus dwi bahasa, atau daftar kosa kata beserta terjemahannya.
e. Teks bacaan berupa karya sastra klasik atau kitab keagamaan lama.
f. Basis pembelajaran adalah penghafalan kaidah tata bahasa dan kosa kata, kemudian penerjemahan harfiah dari bahasa target ke bahasa pelajar atau sebaliknya.
g. Bahasa ibu pelajar digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar-mengajar.
h. Peran guru aktif sebagai penyaji materi sedangkan peran siswa / pelajar/pasif sebagai penerima materi.
3. langkah-langkah pembelajaran metode gramatika terjemah.
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran metode Gramatika Terjemah pada umumnya adalah sebagai berikut :
a. Guru memulai pelajaran dengan menjelaskan definisi butir-butir tata bahasa kemudian memberikan contoh-contohnya. Buku teks yang dipakai memang menggunakan metode deduktif.
b. Guru menuntun siswa menghafalkan daftar kosa kata dan terjemahannya, atau meminta siswa mendemonstrasikan hafalan kosa kata yang telah diajarkan sebelumnya.
c. Guru meminta siswa membuka teks bacaan kemudian menuntun siswa memahami isi bacaan dengan menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat. Atau guru meminta siswa membaca dalam hati kemudian mencoba menerjemahkan kata per kata atau kalimat perkalimat ; guru membetulkan terjemahan yang salah dan menerangkan beberapa segi ketatabahasaan (nahwu-sharaf) dan keindahan bahasanya (balaghah). Pada waktu Lain guru juga maminta siswa melakukan analisa tatabahasa (meng-i’rab).


F. Madrasah diniyah.
Proses dalam jalur belajar atau jalur memperoleh pendidikan dapat digolongkan menjadi 3 jalur yaitu : jalur Formal (yang dilakukan disekolah-sekolah pada umumnya), jalur informal (berupa pandidikan secara tidak lansung dan dapat pula berupa pengalaman hidup si anak ), serta pendidikan non formal. Slah satu pendidikan non formal yang dapat mengarahkan anak didik dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta akal dan akhlaknya adalah madrasah diniyah, karena tujuan pendidikan di madrasah diniyah tidak semata-mata untuk memperkaya fikiran murid dengan penjelasan-pemjelasan, tetapi untuk meningktkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, serta mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Karena itu dikebanyakan pesantren dan madrasah diniyah dalam pengajaran kitab-kitabnya menggunakan cara wetonan, bandongan, hafalan, dan sorogan.(Jasa Ungguh Muliawan, 2005 : 159 ), wetonan dan bandongan adalah metode pengajaran dengan cara santri mengikuti pelajaran duduk disekeliling kyai, Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, dan santri menyimak dan membuat catatan pada kitab masing-masing.
G. Membaca
Membaca sebetulnya merupakan kegiatan membunyikan kata-kata yang tersaji dalam bentuk teks. Jika seorang anak yang masih sangat muda sudah dapat mengarahkan pandangannya pada bacaan dari kiri ke kanan, berarti ia telah memahami arah membaca serta mengetahui bahwa teks tersebut memiliki arti atau pesan tersendiri (Byrnes, 2001). Pendapat Byrnes ini tentu hanya valid untuk negara-negara yang orientasi membacanya dimulai dari kiri ke kanan, dan tidak valid untuk negara dengan orientasi membaca yang lain seperti Arab atau Jepang. Adapun definisi membaca secara ilmiah menurut salah satu tokoh yang bernama Snow adalah:
Suatu proses pemberian makna pada materi yang tercetak dengan menggunakan pengetahuan tentang huruf-huruf tertulis dan susunan suara dari bahasa oral untuk mendapatkan pengertian.
Dari definisi diatas, tampak bahwa membaca membutuhkan pemahaman dari apa yang tertulis. Secara lebih rinci, proses membaca merupakan proses yang kompleks, mulai dari melihat bentuk-bentuk alfabet, memaknai, dan mencoba memahaminya melalui berbagai proses berpikir seperti analisis dan sintesis.. Semua kegiatan tersebut melibatkan pengalaman masa lalu dan kerangkaberpikir (mindset) yang telah dipelajari agar dapat diperoleh sebuah pemahaman.
a. Hakekat membaca
Menurut Kolker (1983: 3) membaca merupakan suatu proses komunikasi antara pembaca dan penulis dengan bahasa tulis. Hakekat membaca ini menurutnya ada tiga hal, yakni afektif, kognitif, dan bahasa. Perilaku afektif mengacu pada perasaan, perilaku kognitif mengacu pada pikiran, dan perilaku bahasa mengacu pada bahasa anak.
Doglass (dalam Cox, 1988: 6) memberikan definisi membaca sebagai suatu proses penciptaan makna terhadap segala sesuatu yang ada dalam lingkungan tempat pembaca mengembangkan suatu kesadaran. Sejalan dengan itu Rosenblatt (dalam Tompkins, 1991: 267) berpendapat bahwa membaca merupakan proses transaksional. Proses membaca berdasarkan pendapat ini meliputi langkah-langkah selama pembaca mengkonstruk makna melalui interaksinya dengan teks bacaan. Makna tersebut dihasilkan melalui proses transaksional. Dengan demikian, makna teks bacaan itu tidak semata-mata terdapat dalam teks bacaan atau pembaca saja.
Fredick Mc Donald (dalam Burns, 1996: 8) mengatakan bahwa membaca merupakan rangkaian respon yang kompleks, di antaranya mencakup respon kognitif, sikap dan manipulatif. Membaca tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sub keterampilan, yang meliputi: sensori, persepsi, sekuensi, pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, afektif, dan konstruktif. Menurutnya, aktiivitas membaca dapat terjadi jika beberapa sub keterampilam tersebut dilakukan secara bersama-sama dalam suatu keseluruhan yang terpadu
Syafi'i (1999: 7) juga menyatakan bahwa membaca pada hakekatnya adalah suatu proses yang bersifat fisik atau yang disebut proses mekanis, beberapa psikologis yang berupa kegiatan berpikir dalam mengolah informasi.
Adapun Farris (1993: 304) mendefinisikan membaca sebagai pemrosesan kata-kata, konsep, informasi, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh pengarang yang berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman awal pembaca. Dengan demikian, pemahaman diperoleh bila pembaca mempunyai pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dengan apa yang terdapat di dalam bacaan.
Dengan adanya beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa membaca pada hakekatnya adalah suatu proses yang dilakukan oleh pembaca untuk membangun makna dari suatu pesan yang disampaikan melalui tulisan. Dalam proses tersebut, pembaca mengintegrasikan antara informasi atau pesan dalam tulisan dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki.
b. Proses membaca
Menurut beberapa ahli ada beberapa model pemahaman proses membaca, di antaranya model bottom-up, top-down, dan model interaktif. Model botton-up menganggap bahwa pemahaman proses membaca sebagai proses decoding yaitu menerjemahkan simbol-simbol tulis menjadi simbol-simbol bunyi. Pendapat itu menurut Harjasujana (1986: 34) sama dengan pendapat Flesch (1955) yang mengatakan bahwa membaca berarti mencari makna yang ada dalam kombinasi huruf-huruf tertentu. Begitu juga menurut pendapat Fries (dalam Harjasujana, 1986: 34) bahwa membaca sebagai kegiatan yang mengembangkan kebiasaan-kebiasaan merespon pada seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang grafis. Pendapat-pendapat di atas ternyata ditentang oleh Goodman (dalam Cox, 1998: 270) yang menyatakan bahwa membaca sebagai proses interaksi yang menyangkut sebuah transaksi antara teks dan pembaca. Pembaca yang sudah lancar pada umumnya meramalkan apa yang dibacanya dan kemudian menguatkan atau menolak ramalannya itu berdasarkan apa yang terdapat dalam bacaan, membaca seperti itu disebut model top-down.
Kedua pendapat yang menyatakan model bottom-up dan model top-down akhirnya dipersatukan oleh Rumelhart dengan nama model interaktif. Rumelhart (dalam Harris dan Sipay, 1980: 8) menyatukan dua pendapat itu dengan alasan bahwa proses belajar membaca permulaan bergantung pada informasi grafis dan pengetahuan yang berada dalam skemata. Membaca merupakan suatu proses menyusun makna melalui interaksi dinamis di antara pengetahuan pembaca yang telah ada dan informasi itu telah dinyatakan oleh bahasa tulis dan konteks situasi pembaca.
Burns, dkk. (1996: 6) menyatakan bahwa aktifitas membaca terdiri atas dua bagian, yaitu proses membaca dan produk membaca. Dalam proses membaca ada sembilan aspek yang jika berpadu dan berinteraksi secara harmonis akan menghasilkan komunikasi yang baik antara pembaca dan penulis. Komunikasi antara pembaca dan penulis itu berasal dari pengkonstruksian makna yang dituangkan dalam teks dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Lebih lanjut Burns, dkk. (1996:8) mengemukakan sembilan proses membaca tersebut yaitu: (1) mengamati simbol-simbol tulisan, (2) menginterprestasikan apa yang diamati, (3) mengikuti urutan yang bersifat linier baris kata-kata yang tertulis, (4) menghubungkan kata-kata (dan maknanya) dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dipunyai, (5) membuat referensi dan evaluasi materi yang dibaca, (6) mengingat apa yang dipelajari sebelumnya dan memasukkan gagasan-gagasan dan fakta-fakta baru, (7) membangun asosiasi, (8) menyikapi secara personal kegiatan/tugas membaca sesuai dengan interesnya, (9) mengumpulkan serta menata semua tanggapan indera untuk memahami materi yang dibaca.
c. Periode membaca
1. Prabaca
Menurut Burns, dkk. (1996: 224) siswa akan terdorong memahami keseluruhan materi jika para guru membiasakan kegiatan membaca dengan aktivitas prabaca, saatbaca, dan pascabaca. Tahap-tahap membaca itu tidak sama prosedurnya. Tahap prabaca berbeda dengan tahap saat-baca dan pascabaca sebab tahap-tahap itu memerlukan teknik pembelajaran yang berbeda pula.
Aktivitas pada tahap prabaca sangat berguna bagi mahasiswa untuk membangkitkan pengetahuan sebelumnya. Aktivitas tersebut menurut Burns, dkk. (1996:224) bisa berupa membuat prediksi tentang isi bacaan, dan menyusun pertanyaan tujuan. Adapun Moore (1991: 22) menyarankan kepada siswa agar pada prabaca, siswa menganalisis judul bab, subjudul, gambar, pendahuluan yang dilanjutkan dengan menyusun pertanyaan. Leo (1994: 5) mempertegas pendapat Moore bahwa sebelum kegiatan membaca, siswa mensurvei judul bab supaya bisa mengembangkan membaca secara efektif ,dan bisa mengatur waktunya secara fleksibel.

2. Saat-baca
Aktivitas pada tahap saat-baca merupakan kegiatan setelah prabaca. Kegiatan ini dilakukan siswa untuk memperoleh pengatahuan baru dari kegiatan membaca teks bacaan. Dalam membaca tersebut, siswa akan berusaha secara maksimal memahami teks bacaan dengan berbagai strategi. Burns, dkk. (1996:229-236) mengemukakan beberapa strategi dan aktivitas yang dapat digunakan pada saat-baca untuk meningkatkan pemahaman tersebut. Strategi dan aktivitas yang dimaksud meliputi strategi matakognitif, prosedur cloes dan pertanyaan penuntun. Sedangkan Leo (1994: 8) lebih menekankan pada kegiatan membaca dengan cara menandai bagian-bagian yang dianggap penting dan atau membuat ikhtisar bacaan tersebut.
3. Pasca-baca
Aktivitas pada tahap pascabaca, menurut Burns, dkk. (1996:237) digunakan untuk membantu siswa memadukan informasi baru yang dibacanya ke dalam skemata yang telah dimilikinya sehingga diperoleh tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Strategi yang bisa digunakan dalam pascabaca dapat berupa pembelajaran pengayaan, pertanyaan, representasi visual, teater pembaca, penceritaan kembali dan aplikasi.
d. Jenis-jenis membaca
Dari Aspek kegiatannya
1. Membaca Keras
Membaca keras merupakan kegiatan membaca yang menekankan pada ketepatan bunyi, irama, kelancaran, perhatian terhadap tanda baca. Kegiatan membaca seperti ini disebut juga sebagai kegiatan “membaca teknis”.
2. Membaca dalam Hati
Membaca dalam Hati merupakan kegiatan membaca yang bertujuan untuk memperoleh pengertian, baik pokok-pokok maupun rincian-rinciannya. Secara fisik membaca dalam hati harus menghindari vokalisasi, pengulangan membaca, menggunakan telunjuk/petunjuk atau gerakan kepala.
3. Membaca Cepat
Yaitu membaca yang tidak menekankan pada pemahaman rincian-rincian isi bacaan, akan tetapi memahami pokok-pokoknya saja. Membaca ini dapat dilakukan dengan menggerkkan mata dengan pola-pola tertentu.
4.Membaca Rekreatif
Yaitu kegiatan membaca yang bertujuan untuk membina minat dan kecintaan membaca; biasanya bahan bacaab diambil dari cerpen dan novel.
5. Membaca Analitik
Yaitu kegiatan membaca yang bertujuan untuk mencari informasi dari bahan tertulis; menghubungkan satu kejadian dengan kejadian yang lain, menarik kesimpulan yang tidak tertulis secara eksplisit dalam bacaan.
Menurut Bentuknya
1. Membaca Intensif (Qira’ah Mukatsafah)
Yaitu membaca yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan utama dalam membaca dan memperkaya perbendaharaan kata serta menguasai qawaid yang dibutuhkan dalam membaca.
2. Membaca Ekstensif (Qira’ah Muwassa’ah)
Yaitu membaca yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman isi bacaan.
e. Membaca Pemahaman
Banyak definisi membaca pemahaman yang disampaikan oleh para ahli. Definisi itu secara umum mempunyai arti yang hampir sama, yaitu memahami informasi secara langsung yang ada dalam teks bacaan itu dan memahami informasi yang tidak secara langsung dalam teks. Pendapat-pendapat yang mendukung definisi itu diantaranya adalah:
Rubin (1993: 194) mendefinisikan bahwa membaca pemahaman adalah proses pemikiran yang kompleks untuk membangun sejumlah pengetahuan. Membangun sejumlah pengetahuan itu menurut Nola Banton Smith dalam Rubin (1993:195) bisa berupa kemampuan pemahaman literal, interpretatif, kritis, dan kreatif. Hal itu diperkuat oleh Burns (1996:255) bahwa membaca pemahaman terdiri empat tingkatan, yaitu pemahaman literal (literal comprehension), pemahaman interpretatif (interpretative comprehension), pemahaman kritis (critical comprehension) dan pemahaman kreatif (creative comprehension).
Beberapa kemampuan yang ada dalam membaca literal, interpretatif, kritis, dan kreatif dapat diuraikan lebih rinci lagi mulai dari definisi sampai dengan aktivitasnya. Penjelasan tentang definisi dan aktivitasnya tersebut, Syafi’ie (1999: 31) mengatakan bahwa pemahaman literal adalah pemahaman terhadap apa yang dikatakan atau disebutkan penulis dalam teks bacaan. Pemahaman ini diperoleh dengan memamhami arti kata, kalimat dan paragraf dalam konteks bacaan itu seperti apa adanya. Dalam pemahaman literal ini tidak terjadi pendalaman pemahaman terhadap isi inforasi bacaan. Yang terjadi hanya mengenal dengan mengingat apa yang tertulis dalam bacaan. Untuk membangun pemahaman literal, pembaca dapat menggunakan kata tanya apa, siapa, kapan, bagaimana, mengapa.
Membaca interpretatif merupakan kegiatan membaca yang berusaha memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis dalam teks bacaan. Kegiatan ini lebih dalam lagi bila dibandingkan dengan membaca literal karena dalam membaca literal pembaca hanya mengenal apa yang tersurat saja, tetapi dalam membaca interpretatif, pembaca ingin juga mengetahui apa yang disampaikan penulis secara tersirat. Menurut Syafi’ie (1999:36) pemahaman interpretatif harus didahului pemahaman literal yang aktivitasnya berupa: menarik kesimpulan, membuat generalisasi, memahami hubungan sebab-akibat, membuat perbandingan-perbandingan, menemukan hubungan baru antara fakta-fakta yang disebutkan dalam bacaan.
Membaca kritis merupakan membaca yang bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu teks bacaan dengan jalan melibatkan diri sebaik-baiknya ke dalam teks bacaan itu. Oleh para ahli membaca kritis ini dipandang sebagai jenis membaca tersendiri sehingga para ahli membuat definisi yang redaksinya berbeda-beda. Menurut Burns (1996:278) membaca kritis adalah mengevaluasi materi tertulis, yakni membandingkan gagasan yang tercakup dalam materi dengan standar yang diketahui dan menarik kesimpulan tentang keakuratan, dan kesesuaian. Pembaca kritis harus bisa menjadi pembaca yang aktif, bertanya, meneliti fakta-fakta, dan menggantungkan penilaian/keputusan sampai ia mempertimbangkan semua materi.
Membaca kreatif merupakan tingkatan membaca pemahaman pada level yang paling tinggi. Pembaca dalam level ini harus berpikir kritis dan harus menggunakan imajinasinya. Dalam membaca kreatif, pembaca memanfaatkan hasil membacanya untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan emosionalnya. Kemampuan itu akan bisa memperkaya pengetahuan-pengetahuan, pengalaman dan meningkatkan ketajaman daya nalarnya sehingga pembaca bisa menghasilkan gagasan-gagasan baru. Proses membaca kreatif ini menurut Syafi’ie (1999:36) dimulai dari memahami bacaan secara literal kemudian menginterpretasikan dan memberikan reaksinya berupa penilaian terhadap apa yang dikatakan penulis, dilanjutkan dengan mengembangkan pemikiran-pemikiran sendiri untuk membentuk gagasan, wawasan, pendekatan dan pola-pola pikiran baru.
H. Kitab Jurumiyah
Adalah matan kitab jurumiyah karangan Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Dawud Ash-Shonhajie Rohimahulloh (Imam Shonhaji), Kitab ini salah satu matan yang biasa dipakai oleh kalangan pesantren untuk pembelajaran dasar-dasar ilmu nahwu bagi pemula, dalam mengawali pembelajaran fan ilmu alat lebih lanjut, walaupun dikategorikan sebagai kitab yang relatif kecil, namun secara luas membahas tentang seluk beluk ilmu nahwu, mulai yang paling awal (dasar), hingga bab yang agak sukar, para santri disebagian besar pesantren salafy pada khususnya diwajibkan mempelajarinya, karena telah menjadi acuan para kyai selaku pamangku pasantren, Mereka telah menetapkan “kitab jurumiyah” ini sebagai salah satu kitab acuan yang sesuai dalam pembelajaran bahasa arab umumnya dan ilmu nahwu khususnya.
Kitab merupakan kitab lanjutan tentang Ilmu Nahwu yang digunakan untuk mempelajari dasar-dasar tata bahasa arab lengkap. Memahami kaidah-kaidah dhohir kalimat. Sehingga memberi faidah yang sempurna dan bagus, diamnya pendengar atas sesuatu perkataan. Mengatur perubahan akhir kalimat karena berbeda-bedanya huruf yang masuk memerintah kepada kalimat tersebut.
Ilmu ini biasa juga disebut sebagai ibunya ilmu, karena semua pengucapan dan penulisan ilmu yang berkembang, akan diatur oleh ilmu ini dalam menentukan apa, siapa, mengapa, bagaimana, dimana dan kapan status akhir kalimat fi-il, isim dan harafnya.
Metode Yang Biasa Digunakan dalam Pembelajaran
• Bandongan
Bandongan atau metode wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning dimana seorang guru, kyai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri, murid atau siswa mendengarkan, memberimakna dan mnerima. Dalam metode ini guru, kyai atau ustadz yang ber peran aktif sementara santri, murid atau siswa bersifat pasif..
Secara metodologi ,dalam kamus besar bahsa indonesia,bendongan diartikan dengan “pengajaran dalam bentuk kelas (pada sekolah agama)secara teminologi,metode bendongan adalah kiyai menggunakan bahasa daerah setempat,kiyai membaca ,membaca,menterjemahkan ,menerangkan kalimat-demi kalimat kitab yang dipelajarinya,santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kiyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya masing-masing sehingga kitabnya disebut kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang kiyai.
Secara metodologi ,dalam kamus besar bahasa indonesia,bendongan diartikan dengan “pengajaran dalam bentuk kelas (pada sekolah agama)secara teminologi,metode bendongan adalah kiyai menggunakan bahasa daerah setempat,kiyai membaca ,membaca,menterjemahkan ,menerangkan kalimat-demi kalimat kitab yang dipelajarinya,santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kiyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya masing-masing sehingga kitabnya disebut kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang kiyai.
Kelebihan
• Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
• Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif.
• Materi yang diajarkan sering di ulang-ulang sehingga memudahkan anak untuk memahaminya.
Kekurangan
• Metode ini dianggap lamban dan tradisional,karena dalam meeneyampaikan materi sering berulang-ulang.
• Guru lebih kreatif daripada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur.
• Dialog anatara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
• Kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
Kelebihan
• Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
• Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif.
• Materi yang diajarkan sering di ulang-ulang sehingga memudahkan anak untuk memahaminya.
Kekurangan
• Metode ini dianggap lamban dan tradisional,karena dalam meeneyampaikan materi sering berulang-ulang.
• Guru lebih kreatif daripada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur.
• Dialog anatara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
• Kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya


• Sorogan
Sorogan adalah metode pembelajaran yang berbeda dengan metode bandongan. Dalam metode sorogan ini, santri, murid atau siswa membaca kitab kuning dan memberi makna sementara guru, kyai atau ustadzmendengarkan sambil berkomentar atau bimbingan bila di perlukan.
Sorogan artinya belajar secara individu dimana seseorang santri berhadapan dengan seorang guru,terjadi saling berinteraksi salingmengenal di antara keduanya. Sedangkan menurut wahyu utomo ,metode sorogan adalah sebuah sistem belajar dimana para santri meju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kiyai.
Kelebihan
• Terjadi hubungan yang erat dan harmonis antara guru dengan murid.
• Memungkinkan bagi seorang guru utnuk mengawasi,menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahsa arab.
• Murid mendapatkan penjelasan yang pasti tanpa harus mereka-reka tentang interpretasi suatu kitab karena berhadapan dengan guru secara langsung yang memungkinkan terjadinya tanya jawab.
• Guru dapat mengetahui seacara pasti kualitas yang telah dicapai muridnya.
• Santri yang IQ-nya tinggi akan cepat menyelsaikan pelajaran (kitab),sedangkan yang IQ-nya rendah ia membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kelemahan
• Tidak efisien karena hanya menghadapi beberapa murid 9tidak lebih dari 5 orang),sehingga kalau manghadapi murid yang banyak metode kurang begitu tepat.
• Membuat murid ceapt bosan karena metode ini menuntut kesabaran,kerajinan,ketaatan dan kedisiplinan pribadi.
• Murid kadang hanya menangkap kesan verbalisme semata terutama mereka yang tidak mengerti terjemahan tertentu.
• Tanya Jawab
Yaitu semua bentuk pertanyaan antara murid dan guru maupun sebaliknya, baik itu diawal, ditengah maupun diakhir pelajaran. Tanya jawab mencakup semua materi ajar bab, sub bab ataupun lainnya yang telah diberikan maupun yang sedang berlangsung. Tanya jawab diberikan untuk melihat seberapa jauh pemahaman murid tanggap terhadap materi yang telah diberikan ..